Senin, 10 Desember 2018

JALAN JALAN KE PHNOM PENH (PART I)


The Royal Palace of Phnom Penh
Nowadays, traveling is a lifestyle. Young generation prefer spending their money for it than buying expensive stuffs. I am so proud with my friend Halim Karnadi (Indonesian Professional Volcano Guide), for traveling more and more. Yang pingin kepo, silahkan mampir di website-nya ya www.halimkarnadi.wix.com . 
It is very rare, local guides from Yogyakarta dare to challenge themselves in traveling especially abroad, less than 10 as far as I know. Halim is traveling about 2 months in Vietnam until New Year 2019. Damn! I am so jealous, in positive connotation of course.

Terkadang, melihat keberhasilan teman dalam ‘traveling project’ akan memicu semangat lebih bagi kita untuk bekerja lebih giat dan melakukan hal yang sama kedepannya.  Impian saya adalah Euro dan UK Trip. Saya harus menabung 100 juta rupiah, dan beberapa teman seprofesi sudah saya ceritakan perihal ini. 
My Big Dream
Akan sangat luar biasa bila ada beberapa guide (tidak perlu banyak-banyak) dari Yogyakarta melakukan perjalanan ke Eropa dan UK dalam waktu sekitar 3 minggu atau 1 bulan. It will be super awesome experience! Karena belum pernah ada yang melakukan proyek ini sebelumnya. Kalau perseorangan mungkin ada. Kalian berminat? Nabung dari sekarang ya! Kamu punya waktu 10 tahun untuk menabung. 

Tulisan kali ini seputar Phnom Penh, ibu kota negara Kamboja. Saya ke Phnom naik sleeper bus (Perusahaan Giant Ibis Transport) dari Siem Reap. Honestly, sleeper bus from Sombat Tour Thailand is better service and condition than Giant Ibis. But I understood, tourism in Cambodia is still developing. Bis dari Sombat sangat nyaman sekali dengan kursi yang empuk dan bisa digerakkan maju-mundur. 
Sleeper Bus Giant Ibis begitu sederhana. Sedikit sempit, alas agak keras, ber-AC, ada colokan buat nge-charge smartphone, dan modelnya bukan kursi. Buat saya masih nyaman untuk melepas lelah barang sejenak. Toh, hanya sekitar 7 jam perjalanan. Saya capek sekali, karena seharian menjelajah Angkor Wat – Angkor Thom – Ta Phrom – Srah Srang – Banteay Kday – dan Roluos. 

Rmok (bukan Tuk-Tuk ya!) efektifnya hanya sekitar 2 jam membawa saya wira-wiri. Sisanya dari sunrise hingga hampir sunset saya habiskan untuk jalan kaki sekitar 9 jam! Rasanya kaki begitu pegal! Sehingga ketika bis berjalan, saya langsung tertidur lelap tanpa mimpi. Begitu nyenyak, sehingga pukul 05.00 AM sudah sampai Terminal Giant Ibis dijantung kota Phnom Penh. Wow! Badan terasa lebih segar. 
A monument near Wat Phnom
Setelah cuci muka dan gosok gigi, saya langsung jalan kaki menuju Wat Phnom Historical Site. Wat Phnom adalah candi diatas bukit buatan setinggi 27 meter dan dibangun pada tahun 1373 AD (satu masa dengan Imperium Majapahit di Indonesia). 
Ceritanya, pada tahun 1372 AD ada seorang wanita kaya yang meminta semua warga untuk bergotong royong membangun sebuah candi diatas bukit didepan rumahnya, sebagai tempat untuk 4 patung Buddha yang ditemukan  dibatang pohon Koki yang terhanyut oleh arus sungai. Situs ini diberi nama Phnom Don Penh.
        Pada tahun1434 AD (1 masa dengan Kerajaan Ayutthaya di Thailand), Raja Ponhea Yat membangun sebuah kota kuno disekitar Bukit Phnom yang merupakan cikal bakal kota Phnom Penh dimasa depan sebagai ibu kota negara Kamboja.

Raja Ponhea Yat memindahkan ibu kota dari Angkor Thom ke Phnom karena serangan dari Ayutthaya. Sebuah Stupa besar dibangun diatas bukit ini untuk menyimpan abu Raja tersebut bersama keluarganya. Stupa itu direnovasi dan ditransformasi beberapa kali pada tahun 1434 AD, 1806 AD, 1894 AD, dan 1926 AD.
Situs Wat Phnom memiliki area yang cukup luas, seperti boulevard besar dengan taman yang hijau disekitarnya. Cukup membuat saya berkeringat! Tiket masuk murah meriah, hanya 1 USD! Toilet juga gratis.  Karena capek, saya memutuskan naik ojeg ketujuan berikutnya, Istana Raja Phnom Penh. Gak mahal, hanya 2 USD saja! Jangan lupa nawar yak!. 

Sebagai ibu kota negara, Phnom Penh tidak terlalu sibuk seperti Jakarta atau Bangkok. Bahkan bila dibandingkan dengan Surabaya saja masih kalah sibuk! Penduduknya sekitar 4 juta. Kemiskinan dan korupsi masih menjadi tugas besar kota ini. Sebuah masalah klasik. Dan, setelah 5 menit naik ojeg saya sampai didepan Istana Raja alias Royal Palace yang memiliki alun-alun cukup luas serta dekat pinggiran Sungai Mekong!
Loh? Mana pintu masuknya? Kok ada renovasi? Jangan-jangan ditutup ini? Saat itu masih sekitar pukul 08.00 AM. Saya jalan kaki mencoba mengitari Istana dan dari kejauhan saya lihat ada 2 bis besar didepan hotel dengan turis-turis asing. Saya langkahkan kaki dengan cepat dan menyapa Tour Guide-nya.
“Excuse me, Sir? I am sorry disturbing you. May I know where the main door of the Royal Palace is?”
“Ah, over there!” 
Ya ampun, ternyata pintunya kecil sekali! Dan mungkin karena masih pagi, jadi saya tidak melihat seorang-pun memasukinya. Karena pintu utama sedang direnovasi, maka semua turis untuk sementara masuk lewat pintu alternatif. Saya beli tiket dan langsung ada seorang pemandu resmi yang menawarkan jasanya dengan langsung menyebut tarif 10 USD. Saya tidak keberatan. 

Nama lengkap istana ini dalam bahasa Khmer adalah Preah Barum Reachea (Raja) Veang Nei Preah Reacheanachak  Kampuchea. Wow! Panjang banget! Saat itu tentu saja saya tidak hafal. Ini menarik, karena nama asli negara Thailand adalah Racha Anachak Thai. Ada kemiripan bahasa disini.
 Istana ini dibangun pada tahun 1866 yang mana saat itu negara Kamboja dibawah perlindungan Perancis sejak 1863, dan sempat kosong ketika negara jatuh ditangan kekuasaan Khmer Merah. Sebelum dibangun, Istana ini berupa benteng yang disebut Banteay Kev (The Crystal Fort) yang dibangun oleh Raja Ang Chan (1796 – 1834). 

Sayang, Banteay Kev dibakar oleh tentara-tentara Kerajaan Siam (Thailand) pada tahun 1834 dan dijarah habis-habisan. Nasibmu wahai Kamboja. Kerajaan Siam dahulu kala sangat ekspansionis. 
Silver Pagoda (the floor inside made of silver)
Istana Kamboja juga memiliki bangunan besar yang berisi koleksi-koleksi berharga didalamnya, yang dinamai Pagoda Perak (Silver Pagoda). Yang paling menarik adalah ada satu Keris Bali bertahtakan permata-permata dan rubi pemberian dari presiden Indonesia, Soekarno untuk Raja Kamboja saat itu, Norodom Sihanouk. 

Kalau sekarang nama rajanya Norodom Sihamoni. Usut punya usut, ternyata antara Soekarno dan Sihanouk merupakan kawan karib. Presiden pertama Indonesia memang sangat terkenal. Bahkan guide lokal saya pun menyukai gagasan-gagasan dari Soekarno, dan dia juga tahu lambang negara kita, Garuda Pancasila! Ini saya dapat guide yang bagus ilmu sejarahnya. 
1st President of Indonesia, Soekarno and King Norodom Sihanouk

Sebagaimana halnya Grand Palace Bangkok, di Istana Kamboja ini juga ada  mural Ramayana, kisah epik seputar cinta dan pengorbanan karya Valmiki dari India. Dan lagi-lagi guide saya tahu seputar tarian Ramayana di Yogyakarta.
“You knew a lot of things about my country! That is cool!” Saya puji dia dengan tulus.
“ I read a lot” jawabnya.
The coronation of  Norodom Sihamoni by King of Norodom Sihanouk 
Dibandingkan Grand Palace Bangkok, Royal Palace Cambodia lebih kecil dan tidak terlalu luas dengan arsitektur yang pada umumnya lebih sederhana tetapi elegan. Yang menonjol dari desain istana ini adalah gaya Angkor-nya sangat kental. Bisa dilihat dari detil-detil ornamen dipintu masuk, desain interior dan pahatan-pahatan disebagian bangunannya. 
Miniature of Angkor Wat
Tour pun selesai dan saya mengucapkan terima kasih banyak atas semua penjelasan dari guide. Kemudian, saya kembali ke pintu utama untuk mengambil foto-foto menarik serta detil dari desain Istana ini. Dan, tidak terasa waktu menunjukkan pukul 10.00 AM. 

Setelah dirasa cukup dan semakin banyak turis Cina Daratan masuk, saya ke pintu keluar untuk menikmati pertunjukan musik tradisional Kamboja, yang dimainkan oleh beberapa orang.

(Bersambung alias To Be Continued)






Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

Kawah Ijen

(A volcano with green lake, sulfur mining, blue fire, and amazing trekking route) If you are reading my articles, you will ge...