Sabtu, 23 Januari 2016

Jalan-Jalan ke Brunei Darussalam (3)



7 November 2014 (Hari Kedua),

Dihari yang cerah ini,baik saya dan Halim serta Asep, mendapatkan kejutan dari Bang Lani sebagai Tuan Rumah. Kami akan dipandu jalan-jalan ke Bandar Sri Begawan, tepatnya ke Masjid Omar Ali Saifuddien. Namun sebelum itu, kami diminta mencoba makanan khas Brunei, yaitu Ambuyat alias Sagu yang direbus guys!. Setau saya, di Maluku ada makanan khas seperti Ambuyat ini, namanya Papeda, tetapi mungkin perbedaannya ada pada sambalnya kali ya? . Ambuyat harus dimakan bersama Sambal Cacah, yang merupakan campuran kaldu atau  ikan air tawar atau laut yang disuwir-suwir, cabai merah dan sedikit cabai hijau (tergantung selera), bawang merah, dan jeruk nipis, serta sedikit cuka. Rasanya? surprising!, sangat enak guys


Duh mak, sampai tulisan ini dibuat, saya masih ingat rasa Ambuyat yang plain dan sedikit kenyal, berpadu dengan asam kecut pedas dan gurih dari Sambal Cacah!. Slurup, ngiler! .Jujur, saya belum pernah makan yang beginian,  mengingat di Yogyakarta sangat sulit membelinya, atau mungkin tidak ada. Bang Lani bilang, bahwa di Brunei selain Nasi Katok, Ambuyat adalah makanan yang penting terkhusus untuk menjamu tamu. Memang, di Brunei sendiri makanan ini tidak mudah ditemui guys, tetapi bisa dipastikan hampir semua orang Brunei bisa membuatnya.   

Setelah sarapan, kami ke Masjid Omar Ali yang hanya menempuh waktu sekitar 15 menit, dari rumah keluarga Bang Lani. Masjid yang selesai dibangun pada tahun 1958 ini, menghabiskan dana  9,2 juta dolar Brunei. Uang semua itu guys. Maklum, semua materialnya mayoritas impor. Batu granitnya dari Sanghai (Cina), lampu Kristal gantungnya dari Inggris, batu marbelnya  dari Italia, dan karpetnya dari Saudi Arabia. Arsitek masjid ini adalah Cavalieri R. Nolli,  yang  menggunakan desain awal rancangan Sultan Omar Ali Saifuddien III beserta asistennya, Awang Besar Sagap. 

Tingginya?, sedikit lebih tinggi dari Candi Prambanan guys. Candi Prambanan, yang waktu tempuhnya hanya 30 menit dari Kota Yogyakarta tingginya hampir 48 meter, sedangkan Masjid Omar Ali tingginya 52 meter. Memasuki kawasan masjid ini , damai langsung terasa dihati. Segarnya udara menerpa, pepohonan rindang, dan halaman yang luas menambah keasrian kawasan ini. Memang layak, bila Masjid Omar Ali dijadikan ikon negara ini. 


Masjid Omar Ali mengingatkan saya dengan Masjid Dian Al – Mahri yang berada di Depok, Jawa Barat. Masjid Dian juga berkubah emas seperti Omar Ali. Jika Masjid Omar Ali merupakan salah satu masjid terindah di kawasan Asia Pasifik, maka Masjid Dian Al – Mahri dan kawasan sekitarnya merupakan yang termegah se Asia Tenggara, yang dapat menampung 20.000 orang. Sedangkan Masjid Istiqlal di Jakarta, meskipun kubahnya tidak berlapis emas tetapi masjid ini adalah yang terbesar se Asia Tenggara, dengan kapasitas 200.000 orang. 

Yang unik dan menarik dari Masjid Omar Ali bagi saya adalah bukan kubah emasnya, bukan kemegahannya,  melainkan  bangunan kapal yang berlokasi di selatan masjid, dan Kampong Ayer (Kampung Air) di utaranya. Bangunan kapal yang unik ini, adalah replika kapal kerajaan Brunei pada abad ke 16 Masehi guys. Adapun Kampong Ayer , disebut sebagai pemukiman Kampong Ayer yang terluas dan termodern se Asia Tenggara. Tetapi Bang Lani bilang, waktu yang tepat untuk melancong adalah pagi hari ,karena kita bisa melihat banyak aktivitas yang dilakukan oleh  warga sekitar. 

Destinasi utama Brunei yang digaungkan oleh pemerintah hanyalah Istana Nurul Iman, Masjid Omar Ali Saifuddien, Masjid Sultan Hassanal Bolkiah, Kampong Ayer, dan Taman Nasional Temburong.  Sayangnya, untuk Istana Nurul Iman dan Taman Nasional Temburong tidak sempat kami kunjungi. 

Kami tidak bisa ke Istana Sang Sultan, karena bentrok dengan jadwal “In-Line Skate Tournament 2014” .  Adapun untuk Temburong ternyata sangat jauh, dan memerlukan persiapan dana yang tidak sedikit. Maka, kami urungkan niat tersebut dengan harapan di lain masa, dapat jalan-jalan ke Brunei lagi. 

Setelah cukup lama menjelajah ,kami pulang untuk istirahat. Melakukan perjalanan, tidak selalu harus mengunjungi  banyak lokasi dalam satu hari guys. Karena saya juga seorang English Guide, saat di Candi Prambanan atau di Candi Borobudur, apabila melihat turis Jepang, saya selalu komentar usil dan bilang ke klien. 

 “Look at them, Japanese tourists” sedikit berbisik.
“Oh, I thought they are Chinese!. I don’t understand Japanese tourists, in one day they can travel to some countries in Europe. What kind of travel is that? Just taking pictures without interaction with local people?”. 

Tamu Eropa, ketika saya minta pendapat tentang prilaku wisata orang Jepang di negara mereka, jawaban mereka hampir sama. Bagi kami, traveling itu tidak hanya mengabadikan foto-foto indah dari suatu destinasi, tetapi interaksi dan bergaul dengan orang lokal, merupakan cara yang nikmat dalam melancong. Ya gak guys?. Bisa dikatakan, saya sepaham dengan Trinity – The Naked Traveler. He he. 

Sepanjang perjalanan pada hari itu, saya mengamati rumah-rumah di Brunei,  bagus-bagus friends. Mayoritas warga Brunei memang berada guys, rumahnya besar dan bertingkat, serta punya mobil minimal 1 (rata – rata punya 2). Harga mobil disini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan di Indonesia guys, hanya lebih mahal sedikit. Saya amati, orang  Brunei memang sangat disejahterakan oleh Sultan mereka. 

 Sultan Hassanal Bolkiah sangat perduli terhadap warganya, seperti akses pendidikan dan kesehatan yang gratis, serta pengarahan terhadap pekerjaan yang cocok dengan minat dan bakat warganya. Tetapi mayoritas, banyak yang bekerja di sektor industri perminyakan guys (ya eyalahh). Tapi guys, gratisnya itu loh! (tanpa ada syarat dan ketentuan berlaku). Aahhhhh! Mupeng!! . Pindah ke Brunei yuk? he he. Saya pun usil bertanya,  “Bagaimana kalau kaum imigran ingin memanfaatkan fasilitas-fasilitas dari negara dengan cara menikahi warga Brunei, Bang?”. 

Gak bisa bro, gak semudah itu. Disini banyak imigran dari berbagai negara. Seandainya para imigran menikah dengan orang sini, perlakuannya berbeda bro. KTP juga berbeda bro” Bang Lani menjelaskan dengan logat Bahasa Indonesia. Maklum guys, Bang Lani sering bergaul dengan orang kita, selain itu entah mengapa, sejauh pengamatan saya, orang Brunei kalau berbicara bahasa Melayu lebih enak didengar untuk pengucapannya dibanding orang Malaysia. Ya, seperti Fakhrul Razi (salah satu komentator Dangdut Academy Asia) itulah friends. This is just my personal opinion

Sejauh pengamatan saya, mereka kurang suka dicampur-campur dalam bertutur kata. Di Malaysia, ada Bahasa Rojak (you know what I mean), tetapi tidak di Brunei guys. Mereka tau bahasa itu eksis di Malaysia, mereka pun bisa kalau mau,   tetapi mereka cenderung enggan guys. Menurut saya, orang Brunei memiliki kebanggaan dalam berbahasa daerah. Selama ini yang saya tau, orang Brunei berbicara bahasa Melayu sebagai bahasa ibu atau istilahnya mother tongue , tetapi ternyata saya salah. Di Brunei ada empat distrik yaitu Brunei Muara, Temburong, Tutong, dan Belait. Setiap distrik memiliki bahasa daerah masing-masing, dan Bahasa Melayu adalah bahasa persatuan mereka.

(bersambung)



Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

Kawah Ijen

(A volcano with green lake, sulfur mining, blue fire, and amazing trekking route) If you are reading my articles, you will ge...