Kamis, 07 Januari 2016

Jalan - Jalan ke Brunei Darussalam (2)


            Tanggal 6 November 2014, kamipun berangkat dari Bandung (Bandara  Husein Sastranegara) menggunakan maskapai penerbangan Air Asia menuju Kuala Lumpur terlebih dahulu, lalu ke Bandar Seri Begawan. Air Asia adalah pilihan terbaik saat itu, mengingat Royal Brunei Airlines sangatlah mahal bagi saya. Saat itu tiket Royal Brunei untuk sekali berangkat IDR 4000.000, sedangkan Air Asia setengahnya, sudah pulang – pergi . Nah lho, gimana kagak ngiler coba?.  

 Nantilah kalau sudah menjadi orang kaya, sekali – kali bolehlah naik Royal Brunei. Karena saya yakin,  sensasi naik maskapai penerbangan milik Sultan Hassanal Bolkiah, itu pastilah berbeda rasanya dibandingkan dengan yang lain . Bagi saya pribadi, perjalanan ini adalah pengalaman yang sangat berkesan, sesuatu yang wah,  karena merupakan pengalaman pertama saya keluar negeri. Tidak apa – apalah kalau dibilang katrok (kampungan). Emang kenyataannya begitu. Saya ini kan memang orang kampung. He he.  

Akhirnya sampailah kami di Bandar Seri Begawan. Kamipun celingak – celinguk . Eh, ini Bandara kok sepi  sekali ya?. Olala, ternyata yang mendarat pada saat itu  hanya dua maskapai guys, Royal Brunei dan Air Asia. Memang sih, Brunei bukanlah seperti Bali atau Yogyakarta,  yang jam penerbangannya selalu sibuk dan banyak turis domestik, Asia, atau Eropa.

 Selain itu, memang populasi Brunei tidaklah banyak sehingga hal ini pun dapat dipahami. Tetapi, ya ampun lengang banget!. Walaupun demikian kami suka, karena serasa sangat ekslusif. Karena yang dari Indonesia ke Brunei hanya kami bertiga. Ini baru mantap!. Ke Malaysia dan Thailand mah orang Indonesia sudah biasa, tapi ke Brunei? He he.  

Uniknya bandara ini kawan-kawan, huruf Arab Gundul atau orang Brunei menyebutnya Arab Jawi, bertebaran dimana-mana. Serasa kayak di Arab Saudi nih. Kalau bahasa Melayu-nya,  ya kami masih memahami lah, lagipula Bahasa Indonesia itu kan “a new form of Malay”, pastinya banyak persamaan khususnya dalam perbendaharaan kata.


 Arab Jawi ini mengingatkan saya dengan sistem pendidikan pesantren yang banyak diterapkan di wilayah Provinsi Jawa Timur. Para santri (baca:murid) , banyak yang diajarkan bagaimana cara membaca Arab Gundul. Bahkan,  kakek saya memiliki kitabnya. Saya juga pernah mempelajarinya, dulu sewaktu remaja, meskipun tidak setingkat master

So of course, saya  tidak mengalami sensasi seperti yang dirasakan oleh Scarlet Johanson difilm Lost in Translation (2003) yang ber setting di Tokyo. Scarlet datang kesuatu negara yang orangnya, bahasa, dan hurufnya totally different

Bisa dibayangkan, huruf Cina Mandarin alias Kanji bergabung menjadi satu dengan huruf Hiragana dan Katakana. Itu bagi saya, ruwetnya bagaikan pertemuan antara benang wol, benang jahit, dan benang nilon. Ciamik lah ruwetnya! . Mungkin lebih parah daripada ruwet dan macetnya Jakarta. He he. Mulai hiperbola nih

Adapun untuk orang Melayu Brunei dengan Melayu Malaysia, atau Melayu Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,Bengkulu) sangatlah mirip. Kebetulan, saya dibesarkan di Sumatera Selatan yang terkenal akan Sungai Musi Rawas dan Pempek Palembang nya. Sehingga, ketika mengamati warga Brunei secara umum saya jadi ingat teman-teman saya disana. Ya, namanya juga negara serumpun dan serantau. Ya gak friends?. Din Syamsudin, ketua organisasi Muhammadiyah  juga mengatakan hal yang sama lho

Tetapi sejauh pengamatan saya selama hampir 6 hari di Brunei, kaum bangsawan Brunei alias darah biru memiliki perbedaan dalam hal  physical appearance . Mereka memiliki warna mata cokelat keabu-abuan, beralis cukup lebat dan tegas,  berkulit bersih kuning langsat ,good looking untuk para lelakinya, dan rata – rata cantik untuk para perempuannya.

 Adapun persamaan mereka dengan kaum biasa  adalah tinggi badan, antara 155 – 160 cm baik laki-laki maupun perempuan. Rata-rata warga Brunei memang pendek guys. Of course tidak semuanya lah,  selalu ada pengecualian bukan?. Kami beruntung, karena Bang Lani (rekan Halim), mempersilahkan kami tinggal dan mengamati, serta berinteraksi dengan keluarga besarnya. Juga, diperkenalkan kepada saudara-saudara dan kawan-kawannya. What an amazing hospitality. Entah kapan, saya bisa menebus budi baik ini.

By the way guys, ada kisah cukup menegangkan selama pengecekan barang di tempat imigrasi, yang saya dan Halim sadari ketika sampai dirumah Bang Lani. Asep kawan kami, terbilang berani. Bagaimana tidak, dia menyelipkan rokok Mallboro berjumlah lumayan ditas besarnya, dan berhasil lolos. Padahal jika ketahuan, urusannya cukup ribet, dan pajaknya tidaklah murah. Pihak imigrasi pun untungnya percaya-percaya saja. 

“Ini ape yang ada didalam luggage awda (anda)?” kata pihak imigrasi. “Oh, ini T-Shirt untuk kawan” kata Asep santai. “Tak ade yang nak di claim ?” ujarnya lagi. “Tak” jawabnya  lempeng. Dan, voila!. Berhasil saudara-saudara!. Hari itu adalah hari bejo untuk Asep.

Saya memang tidak tau, berapa harga bea cukai yang harus dibayar per bungkusnya, tetapi jika kalian merokok tidak pada tempatnya , dan otoritas mengetahui misalnya, lalu menangkap  kalian, maka dendanya adalah BND 300 atau sekitar hampir IDR 3000.000. Ya,  itulah aturannya. Walaupun kenyataannya, saya tidak tau pasti, teknis pelaksanaannya seperti apa. 

Denda yang mahal, meskipun katanya di Singapura lebih mahal. Bahagialah warga negara Indonesia, karena dinegara kita, cenderung bebas boleh merokok dibanyak lokasi.  Tetapi, kalau saya pribadi  sudah lama berhenti merokok guys. Kalau paru-paru kalian tidak kuat ,mungkin sebaiknya jangan merokok ya friends?.  Dengan semangatnya Asep bercerita, hingga akhirnya kami semua tertegun sejenak,  dan tertawa bersama-sama. Semoga dengan kejadian ini, pihak otoritas Brunei lebih ketat memeriksa. He he. 

Di Brunei, memang tidak mudah mencari transportasi umum, karena warganya mayoritas memiliki mobil pribadi, dan adapun taksi hanya tersedia di bandara, tetapi harganya tidaklah murah. Jika ingin naik bis umum, kita harus menunggu 1 jam – an di halte yang tersedia. Adapun jalan rayanya, mulus moncer guys!. Lebar, dan yang terpenting tidak macet. Walaupun weekend atau jam pulang kerja,jalan raya tetap normal.

Kalau di Yogyakarta, khususnya akhir pekan, terlebih lagi bila long weekend, ampuunnn!. Tidak percaya? Silahkan coba. Saya saja lebih memilih istirahat dirumah, bahkan Pak Sultan dan Pak Wali Kota Haryadi Suyuti saja pernah menghimbau,  agar warga Jogja mengalah demi wisatawan yang datang. Sekarang ini di Indonesia, bukan hanya Bali yang ramai friends, Jogja juga tidak kalah ramainya dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. 

Hari pertama menginjakkan kaki di Brunei sungguh sangat berkesan. Setelah berkenalan dengan keluarga besar Bang Lani, kami makan Nasi Katok bersama-sama. Ternyata untuk soal kuliner, masih ada 1 jenis makanan yang harganya terjangkau yaitu Nasi Katok, seharga 1 Ringgit atau BND 1 (hampir Rp.10.000).


Awas!, jangan salah ucap ya guys. Bukan Nasi Katrok lho ya?. Nasi Katok adalah nasi bungkus berukuran sedang dengan lauk ayam lokal Brunei yang cukup besar, dan campuran sambal hijau+merah yang mantap. Rasanya enak, cukup pedas, dan mengenyangkan. Lalu  kamipun istirahat , mencoba terlelap diruang tamu yang luas, dan AC yang sejuk. Saya pun membayangkan, kejutan apa lagi ya untuk besok.  

bersambung

Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

Kawah Ijen

(A volcano with green lake, sulfur mining, blue fire, and amazing trekking route) If you are reading my articles, you will ge...