7 November
2014 (Hari Kedua),
Dihari yang
cerah ini,baik saya dan Halim serta Asep, mendapatkan kejutan dari Bang Lani
sebagai Tuan Rumah. Kami akan dipandu jalan-jalan ke Bandar Sri Begawan,
tepatnya ke Masjid Omar Ali Saifuddien. Namun sebelum itu, kami diminta mencoba
makanan khas Brunei, yaitu Ambuyat alias Sagu yang direbus guys!. Setau saya, di Maluku ada makanan khas seperti Ambuyat ini, namanya
Papeda, tetapi mungkin perbedaannya ada pada sambalnya kali ya? . Ambuyat harus dimakan bersama Sambal Cacah, yang
merupakan campuran kaldu atau ikan air
tawar atau laut yang disuwir-suwir, cabai merah dan sedikit cabai hijau
(tergantung selera), bawang merah, dan jeruk nipis, serta sedikit cuka.
Rasanya? surprising!, sangat enak guys.
Duh mak, sampai tulisan ini dibuat, saya
masih ingat rasa Ambuyat yang plain
dan sedikit kenyal, berpadu dengan asam kecut pedas dan gurih dari Sambal
Cacah!. Slurup, ngiler! .Jujur, saya
belum pernah makan yang beginian,
mengingat di Yogyakarta sangat sulit membelinya, atau mungkin tidak ada.
Bang Lani bilang, bahwa di Brunei selain Nasi Katok, Ambuyat adalah makanan
yang penting terkhusus untuk menjamu tamu. Memang, di Brunei sendiri makanan
ini tidak mudah ditemui guys, tetapi
bisa dipastikan hampir semua orang Brunei bisa membuatnya.
Setelah
sarapan, kami ke Masjid Omar Ali yang hanya menempuh waktu sekitar 15 menit,
dari rumah keluarga Bang Lani. Masjid yang selesai dibangun pada tahun 1958
ini, menghabiskan dana 9,2 juta dolar
Brunei. Uang semua itu guys. Maklum,
semua materialnya mayoritas impor. Batu granitnya dari Sanghai (Cina), lampu
Kristal gantungnya dari Inggris, batu marbelnya dari Italia, dan karpetnya dari Saudi Arabia. Arsitek
masjid ini adalah Cavalieri R. Nolli, yang
menggunakan desain awal rancangan Sultan Omar Ali Saifuddien III beserta
asistennya, Awang Besar Sagap.
Tingginya?, sedikit
lebih tinggi dari Candi Prambanan guys.
Candi Prambanan, yang waktu tempuhnya hanya 30 menit dari Kota Yogyakarta
tingginya hampir 48 meter, sedangkan Masjid Omar Ali tingginya 52 meter.
Memasuki kawasan masjid ini , damai langsung terasa dihati. Segarnya udara menerpa, pepohonan rindang, dan halaman yang luas menambah keasrian kawasan ini. Memang layak, bila Masjid Omar Ali dijadikan ikon negara ini.
Masjid Omar
Ali mengingatkan saya dengan Masjid Dian Al – Mahri yang berada di Depok, Jawa
Barat. Masjid Dian juga berkubah emas seperti Omar Ali. Jika Masjid Omar Ali
merupakan salah satu masjid terindah di kawasan Asia Pasifik, maka Masjid Dian
Al – Mahri dan kawasan sekitarnya merupakan yang termegah se Asia Tenggara,
yang dapat menampung 20.000 orang. Sedangkan Masjid Istiqlal di Jakarta, meskipun
kubahnya tidak berlapis emas tetapi masjid ini adalah yang terbesar se Asia
Tenggara, dengan kapasitas 200.000 orang.
Yang unik dan
menarik dari Masjid Omar Ali bagi saya adalah bukan kubah emasnya, bukan
kemegahannya, melainkan bangunan kapal yang berlokasi di selatan
masjid, dan Kampong Ayer (Kampung Air) di utaranya. Bangunan kapal yang unik
ini, adalah replika kapal kerajaan Brunei pada abad ke 16 Masehi guys. Adapun Kampong Ayer , disebut
sebagai pemukiman Kampong Ayer yang terluas dan termodern se Asia Tenggara. Tetapi
Bang Lani bilang, waktu yang tepat untuk melancong adalah pagi hari ,karena
kita bisa melihat banyak aktivitas yang dilakukan oleh warga sekitar.
Destinasi
utama Brunei yang digaungkan oleh pemerintah hanyalah Istana Nurul Iman, Masjid
Omar Ali Saifuddien, Masjid Sultan Hassanal Bolkiah, Kampong Ayer, dan Taman
Nasional Temburong. Sayangnya, untuk
Istana Nurul Iman dan Taman Nasional Temburong tidak sempat kami kunjungi.
Kami tidak bisa
ke Istana Sang Sultan, karena bentrok dengan jadwal “In-Line Skate Tournament 2014” . Adapun untuk Temburong ternyata sangat jauh,
dan memerlukan persiapan dana yang tidak sedikit. Maka, kami urungkan niat
tersebut dengan harapan di lain masa, dapat jalan-jalan ke Brunei lagi.
Setelah cukup lama menjelajah ,kami pulang untuk istirahat. Melakukan perjalanan,
tidak selalu harus mengunjungi banyak
lokasi dalam satu hari guys. Karena
saya juga seorang English Guide, saat
di Candi Prambanan atau di Candi Borobudur, apabila melihat turis Jepang, saya
selalu komentar usil dan bilang ke klien.
“Look
at them, Japanese tourists” sedikit berbisik.
“Oh, I thought they are Chinese!. I don’t
understand Japanese tourists, in one day they can travel to some countries in
Europe. What kind of travel is that? Just taking pictures without interaction
with local people?”.
Tamu Eropa, ketika
saya minta pendapat tentang prilaku wisata orang Jepang di negara mereka,
jawaban mereka hampir sama. Bagi kami, traveling
itu tidak hanya mengabadikan foto-foto indah dari suatu destinasi, tetapi
interaksi dan bergaul dengan orang lokal, merupakan cara yang nikmat dalam
melancong. Ya gak guys?. Bisa
dikatakan, saya sepaham dengan Trinity – The Naked Traveler. He he.
Sepanjang
perjalanan pada hari itu, saya mengamati rumah-rumah di Brunei, bagus-bagus friends. Mayoritas warga Brunei memang berada guys, rumahnya besar dan bertingkat, serta punya mobil minimal 1
(rata – rata punya 2). Harga mobil disini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan
di Indonesia guys, hanya lebih mahal
sedikit. Saya amati, orang Brunei memang
sangat disejahterakan oleh Sultan mereka.
Sultan Hassanal Bolkiah sangat perduli
terhadap warganya, seperti akses pendidikan dan kesehatan yang gratis, serta
pengarahan terhadap pekerjaan yang cocok dengan minat dan bakat warganya.
Tetapi mayoritas, banyak yang bekerja di sektor industri perminyakan guys (ya
eyalahh). Tapi guys, gratisnya
itu loh! (tanpa ada syarat dan
ketentuan berlaku). Aahhhhh! Mupeng!! . Pindah
ke Brunei yuk? he he. Saya pun usil
bertanya, “Bagaimana kalau kaum imigran
ingin memanfaatkan fasilitas-fasilitas dari negara dengan cara menikahi warga
Brunei, Bang?”.
“Gak bisa bro, gak semudah itu. Disini banyak imigran dari berbagai negara. Seandainya
para imigran menikah dengan orang sini, perlakuannya berbeda bro. KTP juga
berbeda bro” Bang Lani menjelaskan dengan logat Bahasa Indonesia. Maklum guys, Bang Lani sering bergaul dengan
orang kita, selain itu entah mengapa, sejauh pengamatan saya, orang Brunei
kalau berbicara bahasa Melayu lebih enak didengar untuk pengucapannya dibanding
orang Malaysia. Ya, seperti Fakhrul Razi (salah satu komentator Dangdut Academy
Asia) itulah friends. This is just my personal opinion.
Sejauh
pengamatan saya, mereka kurang suka dicampur-campur dalam bertutur kata. Di
Malaysia, ada Bahasa Rojak (you know what
I mean), tetapi tidak di Brunei guys.
Mereka tau bahasa itu eksis di Malaysia, mereka pun bisa kalau mau, tetapi mereka cenderung enggan guys. Menurut saya, orang Brunei memiliki
kebanggaan dalam berbahasa daerah. Selama ini yang saya tau, orang Brunei
berbicara bahasa Melayu sebagai bahasa ibu atau istilahnya mother tongue , tetapi ternyata saya salah. Di Brunei ada empat
distrik yaitu Brunei Muara, Temburong, Tutong, dan Belait. Setiap distrik
memiliki bahasa daerah masing-masing, dan Bahasa Melayu adalah bahasa persatuan
mereka.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar