Indosiar sebagai
salah satu stasiun TV terbesar di Indonesia, menyiarkan sebuah program bernama
Dangdut Academy Asia yang berakhir dibulan Desember 2015. Program ini menyedot
perhatian pemirsa dari empat negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, dan
Brunei Darussalam, meskipun hanya tayang sekitar 2 bulan. Dari sekian
komentator, ada satu yang saya sukai karena cara berkomunikasinya yang baik,
dialah Fakhrul Razi dari Brunei Darussalam.
Setelah berakhirnya masa tayang DA Asia, entah mengapa, teringatlah saya suatu kenangan lebih dari
setahun lalu, semasa jalan-jalan ke Brunei.
Memang tidak pernah
terlintas dalam pikiran, jika saya terikat takdir oleh Brunei. Berbicara
tentang jalan – jalan keluar negeri, awalnya yang menjadi prioritas utama saya
adalah beberapa negara populer untuk tujuan wisata seperti Malaysia, Thailand,
Kamboja, atau Vietnam. Mengapa? ya karena akomodasi, transportasi, destinasi
yang beragam, serta harga makanannya terjangkau untuk ekonomi orang Indonesia.
Khususnya ekonomi saya, he he.
Maklum, belum menjadi orang kaya. Selain itu
juga, dikarenakan ada beberapa kawan yang tinggal di negara-negara tersebut.
Bagaimana dengan Singapura? entahlah,kurang berminat dengan negara ini.
Mungkin, karena saya bukan orang yang gila
belanja. Sampai tulisan ini dibuat, saya masih belum ada motif untuk
jalan-jalan kesana.
Laos? jauh men!. Mau ke Vientine? Luang Prabang? arep golek opo ning kono (mau cari apa
disana)?. Kalau Myanmar? belum berminat ah, walaupun cukup banyak traveler dari Indonesia yang bilang oke banget. Filipina? sama halnya dengan
Laos. Dan Brunei? Mau ngapain ya?, punya teman tidak, kerabat juga tidak.
Satu-satunya memori yang saya ingat tentang Brunei adalah saat SLTPN (sekarang
SMP). Ketika pada tahun 1998, bibi saya bekerja sebagai pembokat disana, tepatnya di Sengkurong , distrik Brunei Muara.
Secara rutin,
bibi mengirim surat kepada kakek-nenek hampir setiap bulan. Prangko Sultan
Hassanal Bolkiah sempat saya koleksi (setelah itu hilang entah dimana). Hiks..sedih (sekarang kalau dijual,
harga prangkonya pastilah mahal). Kalau teman-teman pembaca ada yang
memilikinya, kasih tau saya ya?. Saya juga seorang philately alias pengoleksi prangko.
Inilah sekilas pandangan saya tentang
negara-negara ASEAN. General banget? memang , soalnya belum pernah
jalan-jalan keluar negeri sih, dan pengetahuan saya sangat minim setahun yang
lalu. Kalau ada rizki dan kesempatan,untuk proyek kedepan, saya sangat berhasrat
menaklukkan Asia Tenggara. Dan, entah mengapa takdir membawa saya ke Brunei, untuk
menjadi negara pertama yang saya kunjungi melalui suatu cara yang tidak terduga
alias unexpected!.
Suatu ketika
dibulan Oktober 2014, teman saya Halim bercerita, bahwa dia akan ke Brunei dibulan
November karena ada kompetisi “Skate Tournament In – Line Skate 2014” dan
urusan bisnis. Wow! Itu mantap
sekali, teman saya ini ternyata diam-diam salah seorang designer untuk merk kaos ekslusif ternama disana, merknya Street Brigade ‘BWN 84’ dan nama
usahanya “Street Brigade Clothing”. Bangga dong,
punya teman yang karyanya dihargai di negara orang.
Saking
terkenalnya merk kaos ini, artis cantik Brunei Liyana Yus yang berperan sebagai
lakon utama di film “Jasmine (2014)” juga menyukainya lho. Kalau kalian Ke Brunei, tanpa beli kaos ekslusif ini belum
lengkap oleh-olehnya!. Seperti kalau ke Bali ada kaos merk Joger, atau kalau ke
Yogyakarta ada kaos Dagadu , Jogja
T-Shirt, dan Oblong Van Jogja. Tetapi harga kaos BWN tidaklah murah kawan-kawan
(untuk kantong anak muda Indonesia).
Harganya 30 Ringgit alias BND 30 (hampir Rp.300.000). Kalau di Yogyakarta, khususnya
di Jalan Malioboro yang legendaris itu, dengan uang Rp.300.000 bisa membeli 20
kaos dab!. Atau, jika berwisata di Candi Borobudur yang
megah itu, cobalah mampir ke pasar tradisional disana, maka kalian akan
mendapatkan 7 kaos untuk Rp.100.000. Tetapi bahannya beda lho ya?, gak usah ngarep bahan katunnya nyaman dikulit
seperti Dagadu atau Joger, karena ada harga ada kualitas guys. Kalau menurut saya, kaos BWN ini sekelas Dagadu dan Joger
serta Jogja T-Shirt untuk bahan katunnya.
Saya bilang ke
Halim bahwa Brunei itu mahal, tetapi ternyata untuk pesawat pulang – pergi
sudah ditanggung oleh rekan bisnisnya di Brunei. Sekaligus akomodasi dan
transportasi akan diurus secara personal oleh rekan sekaligus kawannya
tersebut. Wow again! Mantap.
Kemudian, rasa penasaran tentang Brunei merasuki
pikiran saya, lalu browsing pun
dimulai.
Negara ini guys, dipimpin oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal
Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah ibni Almarhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien
Sa’adul Khairi Waddien, Sultan dan Yang Di-Pertuan, Negara Brunei Darussalam.
Alamak! Panjang sekali gelarnya.
Gelar ini mengingatkan saya dengan Sultan di Yogyakarta.
Di Indonesia juga ada Sultan yang masih
berkuasa baik itu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Beliau menjabat sebagai Sultan sekaligus
gubernur, suatu jabatan unik dan hanya satu-satunya di Indonesia (atau mungkin
di dunia?).
Nama gelarnya
pun panjang guys, yaitu Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin
Panotogomo Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedoso Ing Ngayogyakarta
Hadiningrat. Panjang juga kan? He
he. Tetapi entah mengapa, baik itu
Sultan Hassanal Bolkiah maupun Sultan Hamengku Buwono X, tidak ada hubungan
diplomasi atau yang lainnya. Au ah
gelap!. It is not my business, just curious.
Dari sejarah
Brunei yang saya pelajari, negara ini dikuasai oleh 1 dinasti secara
turun-temurun selama 500 tahun terakhir. Hebat ya guys!. Banyak sekali negara atau kekuasaan didunia ini yang tidak
berumur panjang karena perselisihan politik seperti contohnya Uni Soviet dan
Yugoslavia. Kalau di Indonesia, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memang
masih bertahan dengan statusnya , sekitar 261 tahun terakhir, tetapi Kasunanan
Surakarta Hadiningrat entah bagaimana nasibnya kini, you know lah what happened there. Kestabilan politik yang
benar-benar dijaga oleh Kerajaan Brunei ini dalam mempertahankan “status quo” patut diacungi jempol.
Selain itu, Brunei
adalah negara kaya minyak, gas alam, kayu
– kayuan dan pepohonan, serta pendapatan per kapita GDP-nya tertinggi di Asia
(Source: CIA 2015). Negara ini merdeka pada tanggal 1 Januari 1984 dari UK
(United Kingdom), dan merdeka dari perlindungan Britania pada tanggal 23
Februari 1984.
Kalau untuk
cuaca, sama sebagaimana halnya negara tropis, dan daratannya cenderung flat seperti Pulau Madura, akan tetapi
ada juga perbukitan dibagian barat dan timur. Titik tingginya adalah Bukit
Pagon (1850 m) diatas permukaan laut. Adapun untuk populasinya tidak sampai
500.000 (CIA: July 2015), dan 65.7 % beretnis Melayu, serta sisanya adalah suku
– suku minoritas (Cina,Tamil, Dayak, dll).
Ketika saya melihat
foto masjid berkubah emas di ibukota negara, Bandar Seri Begawan dari Mbah
Google, maka saya memasukkan Brunei sebagai negara yang harus saya kunjungi
minimal sekali dalam hidup saya sebelum meninggal. Cielah, gayanya. Dan, saya pun
jatuh cinta dengan Masjid Omar ‘Ali Saifuddien, yang arsitekturnya bercampur
baur antara Melayu Brunei, Moghul, dan
Timur Tengah.
Ini unik sekali masjidnya, ada perahu disamping masjid? Ini
satu-satunya didunia, dan saya suka sesuatu yang unik, lain daripada yang lain.
Singkat cerita, kami berdua berangkat ke Brunei bersama seorang kawan lagi,
Asep (nama samaran).
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar