Tanggal 6 November 2014, kamipun berangkat dari Bandung (Bandara Husein Sastranegara) menggunakan maskapai penerbangan Air Asia menuju Kuala Lumpur terlebih dahulu, lalu ke Bandar Seri Begawan. Air Asia adalah pilihan terbaik saat itu, mengingat Royal Brunei Airlines sangatlah mahal bagi saya. Saat itu tiket Royal Brunei untuk sekali berangkat IDR 4000.000, sedangkan Air Asia setengahnya, sudah pulang – pergi . Nah lho, gimana kagak ngiler coba?.
Nantilah kalau sudah menjadi orang kaya,
sekali – kali bolehlah naik Royal Brunei. Karena saya yakin, sensasi naik maskapai penerbangan milik
Sultan Hassanal Bolkiah, itu pastilah berbeda rasanya dibandingkan dengan yang
lain . Bagi saya pribadi, perjalanan ini adalah pengalaman yang sangat berkesan,
sesuatu yang wah, karena merupakan pengalaman pertama saya keluar
negeri. Tidak apa – apalah kalau dibilang katrok
(kampungan). Emang kenyataannya
begitu. Saya ini kan memang orang
kampung. He he.
Akhirnya
sampailah kami di Bandar Seri Begawan. Kamipun celingak – celinguk . Eh, ini Bandara kok sepi sekali ya?. Olala, ternyata yang mendarat pada saat
itu hanya dua maskapai guys, Royal Brunei dan Air Asia. Memang sih, Brunei bukanlah seperti Bali atau
Yogyakarta, yang jam penerbangannya
selalu sibuk dan banyak turis domestik, Asia, atau Eropa.
Selain itu, memang populasi Brunei tidaklah
banyak sehingga hal ini pun dapat dipahami. Tetapi, ya ampun lengang banget!. Walaupun demikian kami
suka, karena serasa sangat ekslusif. Karena yang dari Indonesia ke Brunei hanya
kami bertiga. Ini baru mantap!. Ke Malaysia dan Thailand mah orang Indonesia sudah biasa, tapi ke Brunei? He he.
Uniknya bandara
ini kawan-kawan, huruf Arab Gundul atau orang Brunei menyebutnya Arab Jawi,
bertebaran dimana-mana. Serasa kayak di Arab Saudi nih. Kalau bahasa Melayu-nya, ya
kami masih memahami lah, lagipula
Bahasa Indonesia itu kan “a new form
of Malay”, pastinya banyak persamaan khususnya dalam perbendaharaan kata.
Arab Jawi ini mengingatkan saya dengan sistem
pendidikan pesantren yang banyak diterapkan di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Para santri (baca:murid) , banyak
yang diajarkan bagaimana cara membaca Arab Gundul. Bahkan, kakek saya memiliki kitabnya. Saya juga
pernah mempelajarinya, dulu sewaktu remaja, meskipun tidak setingkat master.
So of course, saya tidak mengalami sensasi seperti yang
dirasakan oleh Scarlet Johanson difilm Lost
in Translation (2003) yang ber setting
di Tokyo. Scarlet datang kesuatu negara yang orangnya, bahasa, dan hurufnya totally different.
Bisa
dibayangkan, huruf Cina Mandarin alias Kanji bergabung menjadi satu dengan
huruf Hiragana dan Katakana. Itu bagi saya, ruwetnya bagaikan pertemuan antara
benang wol, benang jahit, dan benang nilon. Ciamik
lah ruwetnya! . Mungkin lebih parah daripada ruwet dan macetnya Jakarta. He
he. Mulai hiperbola nih.
Adapun untuk orang
Melayu Brunei dengan Melayu Malaysia, atau Melayu Sumatera (Riau, Jambi,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan,Bengkulu) sangatlah mirip. Kebetulan, saya
dibesarkan di Sumatera Selatan yang terkenal akan Sungai Musi Rawas dan Pempek
Palembang nya. Sehingga, ketika mengamati warga Brunei secara umum saya jadi
ingat teman-teman saya disana. Ya, namanya juga negara serumpun dan serantau. Ya gak friends?. Din Syamsudin, ketua
organisasi Muhammadiyah juga mengatakan
hal yang sama lho.
Tetapi sejauh
pengamatan saya selama hampir 6 hari di Brunei, kaum bangsawan Brunei alias
darah biru memiliki perbedaan dalam hal physical appearance . Mereka memiliki
warna mata cokelat keabu-abuan, beralis cukup lebat dan tegas, berkulit bersih kuning langsat ,good looking untuk para lelakinya, dan
rata – rata cantik untuk para perempuannya.
Adapun persamaan mereka dengan kaum biasa adalah tinggi badan, antara 155 – 160 cm baik
laki-laki maupun perempuan. Rata-rata warga Brunei memang pendek guys. Of course tidak semuanya lah,
selalu ada pengecualian bukan?. Kami
beruntung, karena Bang Lani (rekan Halim), mempersilahkan kami tinggal dan
mengamati, serta berinteraksi dengan keluarga besarnya. Juga, diperkenalkan
kepada saudara-saudara dan kawan-kawannya. What
an amazing hospitality. Entah kapan, saya bisa menebus budi baik ini.
By the way guys, ada kisah cukup
menegangkan selama pengecekan barang di tempat imigrasi, yang saya dan Halim
sadari ketika sampai dirumah Bang Lani. Asep kawan kami, terbilang berani.
Bagaimana tidak, dia menyelipkan rokok Mallboro berjumlah lumayan ditas
besarnya, dan berhasil lolos. Padahal jika ketahuan, urusannya cukup ribet, dan
pajaknya tidaklah murah. Pihak imigrasi pun untungnya percaya-percaya saja.
“Ini ape yang
ada didalam luggage awda (anda)?”
kata pihak imigrasi. “Oh, ini T-Shirt
untuk kawan” kata Asep santai. “Tak ade yang
nak di claim ?” ujarnya lagi.
“Tak” jawabnya lempeng. Dan, voila!.
Berhasil saudara-saudara!. Hari itu adalah hari bejo untuk Asep.
Saya memang
tidak tau, berapa harga bea cukai yang harus dibayar per bungkusnya, tetapi
jika kalian merokok tidak pada tempatnya , dan otoritas mengetahui misalnya,
lalu menangkap kalian, maka dendanya
adalah BND 300 atau sekitar hampir IDR 3000.000. Ya, itulah aturannya. Walaupun kenyataannya, saya
tidak tau pasti, teknis pelaksanaannya seperti apa.
Denda yang
mahal, meskipun katanya di Singapura lebih mahal. Bahagialah warga negara
Indonesia, karena dinegara kita, cenderung bebas boleh merokok dibanyak
lokasi. Tetapi, kalau saya pribadi sudah lama berhenti merokok guys. Kalau paru-paru kalian tidak kuat
,mungkin sebaiknya jangan merokok ya friends?.
Dengan semangatnya Asep bercerita, hingga
akhirnya kami semua tertegun sejenak, dan tertawa bersama-sama. Semoga dengan
kejadian ini, pihak otoritas Brunei lebih ketat memeriksa. He he.
Di Brunei, memang
tidak mudah mencari transportasi umum, karena warganya mayoritas memiliki mobil
pribadi, dan adapun taksi hanya tersedia di bandara, tetapi harganya tidaklah
murah. Jika ingin naik bis umum, kita harus menunggu 1 jam – an di halte yang
tersedia. Adapun jalan rayanya, mulus
moncer guys!. Lebar, dan yang
terpenting tidak macet. Walaupun weekend
atau jam pulang kerja,jalan raya tetap normal.
Kalau di
Yogyakarta, khususnya akhir pekan, terlebih lagi bila long weekend, ampuunnn!. Tidak percaya? Silahkan coba. Saya saja
lebih memilih istirahat dirumah, bahkan Pak Sultan dan Pak Wali Kota Haryadi
Suyuti saja pernah menghimbau, agar
warga Jogja mengalah demi wisatawan yang datang. Sekarang ini di Indonesia,
bukan hanya Bali yang ramai friends,
Jogja juga tidak kalah ramainya dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun
mancanegara.
Hari pertama menginjakkan
kaki di Brunei sungguh sangat berkesan. Setelah berkenalan dengan keluarga
besar Bang Lani, kami makan Nasi Katok bersama-sama. Ternyata untuk soal
kuliner, masih ada 1 jenis makanan yang harganya terjangkau yaitu Nasi Katok,
seharga 1 Ringgit atau BND 1 (hampir Rp.10.000).
Awas!, jangan
salah ucap ya guys. Bukan Nasi Katrok lho
ya?. Nasi Katok adalah nasi bungkus berukuran sedang dengan lauk ayam lokal
Brunei yang cukup besar, dan campuran sambal hijau+merah yang mantap. Rasanya
enak, cukup pedas, dan mengenyangkan. Lalu
kamipun istirahat , mencoba terlelap diruang tamu yang luas, dan AC yang
sejuk. Saya pun membayangkan, kejutan apa lagi ya untuk besok.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar