(Hari Ketiga : Oleh – Oleh dan Seputar Pantai)
Masih ingat kisah kami “disiksa” oleh Bang Lani di Kampong
Ayer?. Kalau belum, baca tulisan sebelumnya ya guys. Setelah melepas lelah (Bahasa Melayu Brunei : Lalah), Bang
Lani mengajak kami jalan-jalan ke
Yayasan Hassanal Bolkiah. Memang tidaklah sebesar Hartono Mall atau Ambarrukmo
Plaza di Yogyakarta, tetapi menurut saya Yayasan Hassanal Bolkiah ini cukup
lengkap, lumayan ramai, dan disinilah kami berkesempatan melepas dahaga dengan
teh susu dingin nikmat,serta membeli
cindera mata alias oleh-oleh.
Oh My God! Busyet! Larang dab!. Harga-harga
barang disini bagi saya mahal guys.
Gantungan kunci harganya BND 3 (Rp.30.000), topi BND 10 , lencana BND 4, kartu
pos BND 1, dan tidak terasa BND 30 punya saya melayang. Ampun DJ Daffy!,
negaramu memang cukup mahal bagi saya. Kenapa saya bilang mahal?. Karena saya
tinggal di Yogyakarta, yang terkenal untuk souvenir
–nya, harganya relatif paling murah se Indonesia atau dunia. Tidak Percaya?.
Gantungan
kunci, gelang kayu, dan pernak-pernik yang paling murah itu, ada di Pasar Tradisional Candi Prambanan.
Harganya hanya Rp. 1000 per item guys!.
Dengan BND 3, saya bisa membeli 30 buah gantungan kunci beraneka ragam. Saking
murahnya, pernah saya membawa seorang ibu dan anaknya dari Bangkok untuk
jalan-jalan ke pasar ini.
“Mai Nakchan, in this traditional market,
you can buy the cheapest souvenirs in the world. Cai Khup!” ya, pura-pura
bisa bahasa Thailand lah guys. Si
anak setengah tidak percaya.
“Look. Only Rp.1000 per item” lanjut
saya. Eh, malah bengong dan ngomong sama ibunya dengan bahasa Thailand yang
kedengarannya ditelinga saya seperti orang bindeng lagi ngomong. Wah, kayaknya
masih gak mudeng nih sama rupiah. Payah,
ini tamu pasti kurang baca. Lola, alias loading
lama.
“Au!”
tiba-tiba si ibu berteriak. Saya pun jadi kaget. Spontan saya tanya ke Nakchan “What happened with your mother?”.
“She is surprised, because the price is only
2 Baht” jawabnya datar. Woalah!
Bikin orang kaget saja. “Au” itu maksudnya “wow”. Apa yang terjadi
saudara-saudara?, mereka memborong dan beli sampai Rp.100.000!. Kalap nih
ceritanya. Walaupun Thailand dikenal dengan surga belanja dan banyak barang
yang murah-murah, tetapi menurut mereka di Yogyakarta inilah yang paling murah.
“The real testimony from Thai tourists”.
Tetapi sebagai pemandu yang baik, saya mengingatkan
“But
everything has a price Nakchan, because you will not get a very good thing with
a very low price”.
“Understood, Yoga” terus dia milih-milih
gantungan kunci yang ada tulisan “I love
Jogja”.
Gantungan
kunci yang saya beli di Brunei ini kualitasnya bagus, berbeda dengan yang ada
di Pasar Tradisional Prambanan. Di Indonesia, dengan materialnya yang sama
harganya paling hanya Rp.10.000. Ya, Brunei 3x lipat lebih mahal. Ya tidak
apa-apa guys, toh di Brunei dengan uang BND 1 sudah bisa makan Nasi Katok. Brunei
memang rata-rata mahal, tapi tidak semuanya mahal. Setelah puas, Bang Lani
membawa kami ke Pantai Muara.
Pantai Muara,
sesuai namanya masih berada didalam distrik Brunei Muara. Seperti biasa,
walaupun banyak penduduk yang bermukim didekat pantai tetapi rumah standar di
Brunei seperti yang pernah saya ulas ditulisan sebelumnya, bagus-bagus dan
rata-rata punya mobil. Saya pribadi menyukai alam pesisir Brunei. Karena jalannya mulus, saya pun agak
mengantuk. Yang hebat ini Bang Lani, semangatnya mengalahkan kami bertiga.
“Selamat
datang bro! Sudah sampai bro!” Bang Lani tersenyum. “What?” Cepat sekali. Sepertinya hanya 40 menit, sudah sampai ditempat yang berbeda. Memang
benar kata teman saya, Krisna Padmanegara. Katanya, Brunei itu seperti gabungan
Jakarta Timur dan Jakarta Barat, serta tidak macet. Jadi, kemana-mana memang
dekat guys. Ketika keluar dari mobil,
teriknya panas matahari dan lembabnya udara pantai, membuat badan saya gerah.
Wah, saya salah pakai kaos. Seharusnya saya tidak memakai kaos warna hitam,
karena sifatnya yang menyerap panas. Ya, sutralah!.
Pantainya sepi
dan cukup bersih dengan taman kecil yang cukup rindang. Pantai ini cocok untuk
liburan keluarga. Di timur pantai kami melihat ada keluarga India yang sedang
pesta barbeque kecil-kecilan. Lalu disebelah barat, kami mendengar segerombolan
orang teriak-teriak. Sebagian lagi duduk-duduk di gazebo, sebagian yang lain
main voli.
Saya tidak
paham mereka ngomong apa, yang jelas bukan orang Indonesia. Tetapi dari
nada bicaranya kayak orang Filipina. Maklum,
walau menurut saya film Filipina itu enggak
banget , tapi saya pernah nonton film Pak Pak My Doctor Pak. Sehingga, saya
agak familiar nada bicara mereka. Bahasa Tagalog itu bagi saya sama lucunya
seperti Bahasa Thailand guys. Mereka
kalau berbicara seperti orang bindeng.
“`Itu
orang-orang Filipina bro” Bang Lani seperti tau apa yang saya pikirkan. Kata
Bang Lani, imigran terbesar yang ke Brunei adalah dari Indonesia, sedangkan
imigran Filipina menempati urutan kedua. Untuk pekerja dari Thailand dan Vietnam
juga ada tetapi minoritas. Kami di Pantai Muara, tidaklah lama. Mengingat
panasnya minta ampun, Bang Lani ingin membawa kami ke pantai yang lain, Pantai
Si Jampang namanya.
Si Jampang?.
Iya guys, tetapi saya tidak tau ada
kaitan apa, antara pantai ini dengan Si
Jampang Jagoan Betawi yang anti kolonial Belanda yang suka membela orang-orang
lemah. Pantai ini masuk dalam areal Taman Rekreasi Si Jampang, yang
diperuntukkan untuk semua rakyat Brunei tentunya. Bayar enggak? Di Brunei mah
banyak yang gratis guys. Brunei gitu
loh!. Bagi orang Indonesia, gratis
adalah surga he he he
Tetapi ya itu guys, dibandingkan dengan Pantai
Ngandong, Pantai Wedi Ombo, atau Pantai Drini serta Pantai Pulang Syawal
(Indrayanti) di Kabupaten Gunung Kidul (Yogyakarta), ya lebih bagus di Jogja.
Tidak usah jauh-jauh membandingkan sampai Bali, lha wong pantai-pantai di Yogyakarta saja sekarang menjadi
primadona turis domestik. Sudah pantai-pantainya bagus, murah lagi. Tetapi
tidak gratis seperti di Pantai Jampang dan Pantai Muara. He he.
Saya yakin ada
beberapa pantai Indah di Brunei, tetapi persoalannya saya bukanlah pecinta
pantai guys. Suka iya, ya suka-suka
saja tetapi gak sampai heboh, istilah orang Jawa adalah Ora Gumunan karo pantai. Bagi saya, pantai adalah additional attractions. Soalnya ini
berkaitan dengan model-model klien yang saya bawa. Mayoritas hampir 95%, tamu
saya adalah turis Eropa bukan turis Australia.
Lho emang
beda? Berbeda guys!. Turis dari Eropa
adalah mayoritas pecinta seni dan budaya, arsitektur, sejarah. Intinya mereka
itu orang-orang yang curious dengan
Indonesia. Mereka ke Indonesia bukan
untuk cari pantai, tetapi wisata sekaligus menambah pengetahuan dan pengalaman.
Di Bali, merekapun lebih menyukai Ubud daripada wilayah selatan yang dikuasai turis
Australia. Semua tamu Eropa yang saya bawa , saya selalu iseng-iseng tanya.
“Why is your accommodation in Ubud?” kepo saya
kumat.
“Ubud is the best choice and no Australian
tourists everywhere. In Europe, there are so many beautiful beaches. We are
coming to Indonesia not for the beaches but the cultures”. Semua klien yang
saya tangani, mereka berkomentar hampir sama. Mereka tidak suka orang Australia
yang berisik, dan terkadang lost
controlled kalau minum bir. Perihal tabiat turis Austalia ini sudah
mendunia untuk tingkah lakunya.
Tetapi, Pantai
Jimbaran di Bali adalah pengecualian, karena romantic candle night di pantai ini sudah terkenal. Karena terlalu
seringnya membawa tamu model Eropa, sedikit dan banyak mempengaruhi cara
pandang saya terhadap pantai. Tapi, jangan salah paham ya guys? Saya tidak anti pantai, dan saya tidak ada masalah dengan
turis Australia. Saya tidak gebyah uyah
ya (memukul rata), saya hanya berbagi pengalaman nyata yang saya alami. Intinya
saya itu menerima semua jenis klien, tetapi ya itu kok selama 2 tahun lebih jadi pemandu, saya cuman 2x bawa tamu
Australia. Itupun obrolannya seputar pantai, di Borobudur pun tanyanya pantai. Weleh, weleh. Turis Australia adalah
adalah turis yang sangat langka di Yogyakarta.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar