Hello Good Readers! This is my last travel story this month. For the new readers, please open this link https://yojalan-jalandab.blogspot.com/2018/11/travelling-to-ho-chi-minh-city-part-i.html for reading the previous story about Vietnam. Don’t forget, you can use Translate Feature powered by Google on this blog. There are more than 100 languages!
Setelah dinner di lokal convenient store, saya melanjutkan jalan kaki ke Bui Vien Walking Street yang sangat terkenal di Ho Chi Minh City. Bising, ramai, sibuk, banyak pub dan tempat karaoke disini. Super busy walking street and of course very touristic!
Saya mah ogah nginap di jalan yang berisik seperti ini. Sempat terpikir ingin menginap di jalan ini sebelumnya, namun saya batalkan karena saya pribadi orang yang memerlukan ketenangan untuk istirahat. Karena akomodasi tempat menginap sangat spesial (OYO 101 Saigon Hotel), saya memutuskan kembali untuk berendam di bathtub! He he he…nyante bener pokoknya! I need this, because in the next day I will walk around to the city.
Propaganda mural in Bui Vien Walking Street
Saya sempat menonton acara Sinetron stasiun TV lokal dan mirip-mirip lah formulanya dengan Sinetron Indonesia. Untungnya di OYO Saigon ada banyak saluran TV internasional, sehingga waktu santai tidak membosankan. Saat itu Halim Karnadi, teman seperjalanan di Brunei Darrussalam meminta tolong saya untuk bertemu dengan pacarnya yang berdomisili sementara di Saigon. Saya tidak keberatan. Jalan kaki dan bertemu Emma, adalah itinerary utama.
Keesokan harinya saya mulai jalan kaki pada pukul 06.00 AM dan di depan hotel sudah ramai dengan ibu-ibu jualan sayuran. Tujuan pertama adalah Pasar Ben Than yang terkenal itu. Karena masih pagi, lalu lintas belum ramai dan termasuk lengang. Saya menyukai trotoar disini karena ramah untuk pejalan kaki dan juga melewati taman kecil di distrik 1.
1 jam berjalan, sampailah saya di Pasar Ben Than. Sangat mudah menemukan-nya Pasar ini sebagian sudah dibuka dan ada beberapa pedagang bunga telah siap dengan toko-toko-nya. Saya hanya berjalan di luar dan tidak berminat memasuki pasar tersebut. Kenapa?
Karena pasar-pasar besar di Asia Tenggara itu pada dasarnya memiliki konsep yang tidak berbeda jauh yaitu barang-barang grosir ala Pasar Beringharjo Yogyakarta, kedai-kedai makan, toko-toko cinderamata kualitas biasa, mainan anak-anak, jajanan pasar, dan lain-lain.
Justru yang paling menarik bagi saya dari Saigon adalah bangunan-bangunan kolonial dengan arsitektur Perancis-nya seperti Ho Chi Minh City Hall, Saigon Notre Dame Cathedral, Central Post Office, dan Independence Hall.
Sebenarnya ada nama-nama dalam bahasa Viet untuk setiap bangunan bersejarah disini, akan tetapi sangat sulit diucapkan. Contoh nama marga ‘Nguyen’ yang sangat terkenal dinegara ini, itu pengucapannya adalah ‘Ngoi’. Dan lagi tidak semudah itu Fergusso! Pengucapan ‘Ngoi’ itu ada naik turun nadanya yang trust me, very difficult to pronounce.
Setelah melewati Cho Benh Than, saya langsung jalan lagi menuju Ho Chi Minh City Hall yang ada patung Uncle Ho. Namun sayang entah karena apa, patungnya ditutup terpal biru. Saat itu hari minggu dan dari kejauhan saya melihat banyak orang berkumpul agak jauh di depan City Hall. Olala! Ternyata ada latihan bela diri yang dilakukan oleh para siswa-siswi dan juga senam beladiri untuk para lansia alias lanjut usia. Wow!
Untuk para siswa-siswi, mereka mendapatkan perintah dengan sedikit gaya militeristik. Para guru olahraga-nya terkesan galak (atau mungkin memang harus begitu?). Acara ini disponsori oleh Nestle dan sangat ramai sekali dan diliput oleh media TV. Para turis asing juga turut berdatangan untuk menyaksikannya.
Filosofi acara ini mendidik generasi muda agar sehat dan bugar, karena mereka masa depan bangsa. Untuk para orang tua juga harus tetap latihan demi memberikan contoh kepada generasi muda. Acara yang bagus! Kalau di Jakarta ada acara serupa setiap hari minggu, tentulah bagus juga. Biasanya kalau di Yogyakarta ada cycling, car free day, atau parade budaya.
City Hall dijaga ketat oleh tentara bersenapan laras panjang. Kelihatan sekali kawasan ini sangatlah penting. Selain itu, juga terdapat bangunan-bangunan pencakar langit dan shopping mall. Setelah cukup lama mengambil dokumentasi disini, saya lanjut jalan kaki ke Notre Dame yang juga menjadi wisata ikonik di Saigon.
Sebelum sampai katedral, ada banyak foto-foto yang dipajang disisi kanan jalan utama tentang kondisi Vietnam ketika masih terpecah dua, antara utara dan selatan. Foto-foto lama tentang perang saudara dan juga perang dengan Amerika Serikat kala itu. Ada slogan yang sangat terkenal ketika perang dengan USA yaitu: “All for the front line, all to defeat the American invaders”. Vietnam sangat bangga dengan kemenangannya.
Juga ada beberapa poster propaganda dengan lambang palu arit (komunis) dan lambang bintang besar berwarna kuning (lambang Vietnam). Vietnam adalah negara di bawah pemerintahan komunis sebagai Republik Sosialis sejak tanggal 2 Juli 1976. Partai Komunis Vietnam mempertahankan kontrol atas semua organ-organ pemerintah. Saya akan bahas tentang ini ditulisan yang lain.
Di area ini, juga dijaga oleh para tentara. Saya mendokumentasikan foto-foto yang terpajang satu persatu dan nampaknya saya diawasi (enerjinya kerasa guys). Tatapan mereka dingin bro dan sis! Mereka mengawasi, karena hanya saya satu-satunya turis yang curious dengan hal ini, padahal yang lainnya sibuk di sekitar katedral. Saya santai saja, karena pada dasarnya saya menyukai sejarah.
Katedral Notre Dame Saigon dibangun sekitar tahun 1880-an pada masa penjajahan Perancis dan sudah direnovasi beberapa kali. Katedral ini secara arsitektur mirip dengan Katedral Katolik Bunda Maria dari Gunung Karmel di kota Malang, tetapi yang di Saigon ini lebih besar dan megah, menurut saya.
Disamping katedral, ada Central Post Office yang dibangun penjajah Perancis dengan bantuan arsitek terkemuka saat itu, Gustave Eiffel pada tahun 1891. Yup! Sang arsitek juga merancang Eiffel Tower di Paris. Kawasan ini juga umum bagi para mahasiswa-mahasiswi universitas, untuk melakukan foto bersama setelah wisuda kelulusan.
Saya masuk ke Post Office untuk membeli perangko, karena saya memang seorang kolektor. Saya membeli yang special edition bangunan-bangunan bersejarahseharga VND 100.000, dan juga membeli magnet serta gantungan kunci. Saya tidak berani beli yang berlogo palu arit! Wekekeke…berabe nanti urusannya. Agak disayangkan, para penjual disini tidak murah senyum, dan cenderung serius alias poker face.
(Bersambung aka To Be Continued to Part III)